Apa itu bahagia? Setiap orang memiliki persepsi masing-masing
mengenai arti kebahagiaan sesuai dengan pandangan hidupnya. Banyak
pendapat saling berlainan dalam mendefinisikan makna kebahagiaan.
Masing-masing memiliki pemahamannya tersendiri sesuai dengan keyakinan
dan pandangannya terhadap kehidupan. Kebanyakan menyandarkannya kepada
materi. Pendapat mereka mengenai kebahagiaan berkisar seputar kekayaan,
harta yang melimpah, kenikmatan dan kesenangan, kemasyhuran, kecantikan
dan wanita, kebebasan, kemenangan, kesuksesan, serta tuntutan-tuntutan
hidup lainnya.
Berbeda dengan orang-orang mu’min. Sedangkan orang mu’min dan beramal
shalih adalah sebaik-baik makhluk. Neraca timbangan mereka dalam
mengukur kebahagiaan adalah syariat yang suci. Hujjah mereka adalah
pedoman hidup sepanjang masa Al-Qur’an Karim. Dalil mereka adalah
risalah rabbaniyah yang
diemban oleh para Rasul dan dibawa para Nabi. Kebahagiaan menurut
mereka, adalah tauhid yang murni, yang tak tercampur noda syirik.
Kebagiaan mereka adalah iman. Tiga jurus bahagia adalah SABAR, SYUKUR
dan AMPUNAN. Apabila memperoleh nikmat mereka bersyukur; apabila
memperoleh musibah mereka bersabar; apabila berbuat dosa mereka memohon
ampun.
Alangkah beruntungnya orang-orang mu’min, yang dapat merasakan
kebagaiaan dalam setiap keadaan; suka maupun duka. Itulah barakah,
kebaikan yang bertambah-tambah. Kebahagiaan mereka adalah kebaikan.
Kesempitan dan kesusahan mereka pun kebaikan. Tatkala berbuat dosa pun
menjadi kebaikan jika tertaubati dan menjadikannya insan yang lebih
bertaqwa.
Alangkah bahagianya orang mu’min. Karena iman, tak ada kesedihan dan
ketakutan. Sebab mereka ridha terhadap Rabbnya dan Rabbnya ridha
terhadap mereka. Tiada kekhawatiran kehidupan mereka di dunia, sebab
jika mereka menjadi orang yang dekat kepada-Nya, pasti akan ditolong,
dilindungi, diayomi, diselamatkan oleh-Nya. Tiada kebahagiaan yang
melebihi orang-orang yang dekat kepada Rabb-nya.
Sedangkan kebahagiaan puncak mereka ada di akhirat; ketika bertemu
dengan-Nya, mendapatkan sambutan salam dari-Nya; mendapatkan ridha dan
surga-Nya. Sedangkan kebahagiaan mereka di dunia merupakan ‘surga’ yang
dicicipkan sebelum surga yang sebenarnya. Dengan rasa iman di dalam
dada; mencakup syukur, sabar dan ampunan.
Alangkah bahagianya orang yang bersyukur, setiap kenikmatannya pasti
akan ditambah. Ditambah dan ditambah. Sedangkan rasa syukur itu
merupakan ni’mat tersendiri. Karena rasa syukur pula ia menjadi qanaah,
merasa cukup. Sehingga lapanglah dadanya. Luaslah pandangannya.
Alangkah bahagianya orang yang bersabar; pasti mendapatkan
rahmat-Nya, dosa-dosanya diampuni, diganjari kebaikan yang tak terbatas,
dinaikkan derajat keimanannya. Serta kebahagiaan bagi orang-orang yang
bertaubat; dosa-dosanya terampuni, kesalahannya diganti dengan kebaikan.
Alangkah bahagianya… Alangkah beruntungnya…
Orangtua kita kerap mengajari kita untuk tidak merasa rugi dalam
segala sesuatu; bahkan agar senantiasa merasa beruntung. Ketika
brakk terjatuh dari kursi, “untung nggak patah tangannya,
nduk.”
Senantiasa ucapan ‘beruntung’ yang dilontarkan agar kita tidak merasa
rugi dalam keadaan terburuk sekali pun. Agar kita bisa tetap bersyukur
meski mendapat musibah sekali pun.
Sedangkan kesengsaraa bagi orang yang tak mampu bersyukur; sempit
hatinya membuatnya selalu kurang; tak membuatnya nyaman meski dalam
keadaan yang baik sekalipun. Orang yang sempit hati, tak akan merasakan
kebahagiaan meski pun tinggal di dalam istana yang megah dan di tengah
harta kekayaan yang melimpah. Serta kesengsaraan pun bagi orang-orang
yang tak mampu bersabar. Kesempitan dan kesusahan mereka
bertambah-tambah dengan kesengsaraan di dalam dada. Dan puncak
kesengsaraan mereka adalah di akhirat; ketika mendapati adzab dan
laknat-Nya.
Na’udzubillah min dzalik…
Termasuk orang yang bahagiakah kita?
Wallahu a’lam bish shiwab…
-Muhammad Amin-